Kesaksian Ben Bird, Pria Inggris Pembenci Islam yang Jadi Mualaf Karena Mohamed Salah



Mohamed Salah tak terbantahkan menjadi fenomena baru di Liga Inggris.

Sang jagoan Liverpool ini dianggap bisa menjadi duta muslim ke Liga Inggris, liga sepak bola paling prestisius di dunia saat ini.

Salah bukan pemain muslim pertama di Liga Inggris.

Tapi mungkin tepat bila mengatakan, dia pemain muslim taat pertama yang sukses di Liga Inggris, karena kerap tampil sebagai pemain kunci di sebuah tim besar.

Suporter Liverpool, bahkan mengabadikan soal kemusliman Salah, dalam chant atau nyanyian suporter.

“If he’s good enough for you, he’s good enough for me.

“If he scores another few, then I’ll be Muslim too.”

“If he’s good enough for you, he’s good enough for me.

“Sitting in the mosque, that’s where I wanna be!

“Mo Salah-la-la-la, la-la-la-la-la-la-la.”

Artinya kurang lebih : Bila dia mencetak gol lagi, aku akan menjadi seorang muslim pula.

Memang, chant ini terdengar berlebihan.

Tapi, chant ini benar-benar menjadi kenyataan.

Beberapa orang di INggris, menjadi mualaf, terang-terangan karena pengaruh Mohamed Salah.

Satu di antyaranya adalah Ben Bird.

Seorang pemuda Inggris, yang sebelumnya menjadi Islamphobia, atau membenci Islam.

Di media The Guardian, Ben Bird menuliskan kesaksiannya, bagaimana ia menjadi mualaf karena Salah.

Berikut sebagian kesaksian Ben Bird, sebagaimana dikutip dari The Guardian :

Mohamed Salah benar-benar menginspirasiku.

Aku bukan fans Liverpool.

Aku seorang pemegang tiket terusan Nottingham Forest, aku tetap menjadi diriku sendiri, meski aku mengubah keyakinan penjadi pemeluk Islam.

Aku tetap saja diriku, dan itulah yang kutiru dari Mohamed Salah.

Aku ingin bertemu dia, hanya untuk bersalaman dan bilang : Hai, atau Syukron.

Aku tak yakin teman-temanku percaya kalau aku telah jadi mualaf, karena aku belum sepenuhnya berubah.

Aku hanya merasa, di dalam hatiku kini terasa lebih baik.

Aku masih mencoba berubah bila sedang nonton bola.

Normalnya, aku datang ke pub (tempat minum-minum), bertaruh, lalu selesai nonton bola kembali ke pub, dan sadar sudah kehilangan uang karena kalah bertaruh.

Berat rasanya kalau kau sudah terbiasa dengan sebuah tradisi, dan ini hal yang umum dilakukan banyak fans sepakbola di sini.

Aku malu mengatakannya, tapi sebelumnya, aku melihat Islam itu sebagai agama yang terbelakang.

Mereka memisahkan diri dari kami, tapi terlihat selalu mau menguasai sesuatu.

Aku selalu melihat seorang muslim itu bagai seekor gajah di sebuah ruangan.

Aku dulu sangat membenci muslim.

Masa SMA, menjadi masa ketika aku merasa aku butuh kambing hitam untuk hidupku.

Muslim jadi sasaran kemarahanku.

Ditambah lagi, ketika itu aku mulai berkenalan dengan media sayap kanan (kulit putih).

Mereka kerap mengirimiku propaganda.

Tapi, meski aku sangat membenci Islam, aku tak pernah mengatakannya pada seorang muslim.

Saat itu, aku tak kenal satu pun orang yang beragama Islam.

Semuanya berubah ketika aku kemudian kuliah di University of Leeds, mengambil jurusan Studi Timur Tengah.

Saat aku mengerjakan disertasi, aku ingin mengerjakan sesuatu yang berbeda.

Aku ingat ketika seorang dosen, memberi saran padaku.

“Bagaimana bila membahas lagu Mohamed Salah ?,”

Aku sebenarnya tahu soal lagu itu, tapi aku tak pernah menyadari artinya ketika itu.

Aku kemudian membayangkan disertasiku : “Mohamed Salah, sebuah hadiah dari Allah. Apakah permainan Salah bisa memerangi Islamaphobia dalam media dan dunia politik?,”

Lagu fans Liverpool, yang digubah dari lagu Good Enough, yang di dalamnya ada lirik “If he scores another few then I’ll be Muslim too”, itu akhirnya menohok hatiku.

Aku seorang mahasiswa kulit putih yang sering bepergian ke luar kota.

Kuliah yang kuambil ini adalah kali pertamanya aku belajar soal Islam secara akademik.

Kuliah ini memberiku kesempatan untuk bertemu banyak mahasiswa dari Arab Saudi.

Aku awalnya mengira mereka ini orang-orang sadis yang membawa pedang.

Tapi pada akhirnya, mereka ternyata salah satu masyarakat paling ramah yang pernah kutemui.

Pemahamanku terhadap negara-negara Arab sebelum ini, betul-betul berbeda.

Mohamed Salah adalah muslim pertama yang menggambarkan ketertarikanku pada muslim.

Bagaimana gaya hidup dia, bagaimana cara dia berbicara pada orang lain.

Di kampus, aku kerap mewawancarai mahasiswa asal Mesir untuk mengerjakan disertasiku yang berjudul “Mohamed Salah, hadiah dari Allah”.

Mereka akan semangat memberitahuku bagaimana hebatnya Salah di mata orang Mesir.

Satu juta warga Mesir membuang surat suara mereka tahun lalu, karena menginginkan Salah jadi Presiden Mesir.

Satu mahasiswa Mesir berkata, Salah menunjukkan bagaimana seorang muslim menjalankan Islam dengan benar.

Dia yakin, kalau Salah bisa membuat orang mencintai muslim.

Kata-kata dia, begitu membekas di pikiranku.

Ketika Salah mencetak gol, aku percaya dia mencetak gol untuk agamanya.

Ketika dia memenangkan Liga Champions, aku bilang ke temanku, itu adalah kemenangan untuk Islam.

Setiap mencetak gol, Salah bersujud, dan dia menunjukkan simbol yang sangat mewakili Islam.

Berapa banyak orang menonton Liga Inggris tiap pekan? Di dunia ini, jutaan.

Salah menunjukkanku, kau bisa menjadi seorang muslim dan tetap hidup normal, bila itu kata yang tepat.

Kamu bisa menjadi dirimu sendiri.

Dia pemain hebat dan dihormati dunia sepakbola, apapun agama dan pilihan politiknya.

Ketika kamu membaca Quran, atau membaca soal Islam, mereka akan melihat hal berbeda yang tidak ditayangkan di media (barat).

Aku orang baru dalam masyarakat Islam dan aku masih belajar.

Berat memang rasanya. Karena ini soal mengubah gaya hidup.

Sumber: tribunnews.com

Iklan Atas Artikel

SPONSOR

Iklan Tengah Artikel 1

Sponsor

Iklan Tengah Artikel 2

SPONSOR