Ini Bedanya Yahudi Dengan Zionis



Para zionis tidak akan pernah menyerah dan berhenti untuk merealisasikan tujuannya yaitu menguasai dunia dengan cara menundukkan dan menghapuskan ajaran Islam sebagai langkah awal. Israel tidak akan pernah puas dengan wilayah pendudukannya yang ada sekarang ini.

Pendudukan wilayah Palestina bukanlah tujuan utama dari Zionis. Sekarang ini, kita sebagai umat muslim hanyalah sebagai penonton perjuangan rakyat Palestina. Namun bisa jadi suatu saat nanti bersiap-siaplah kita sebagai aktor perjuangan melawan Israel/Zionis.

Berawal dari membaca buku tersebut, aq jadi tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai seluk-beluk Yahudi, Israel, dan Zionis. Nah, yang ingin aku ceritakan disini adalah apa perbedaan antara Zionis dengan bangsa Yahudi? Siapakah yang mesti kita anggap sebagai musuh abadi?

Apakah semua bangsa Yahudi merupakan Zionis atau sebaliknya ? Ataukah para Zionis itu hanyalah mengaku-ngaku beragama Yahudi padahal mereka sama sekali tidaklah beragama? Berikut ini beberapa cerita yang aku rangkum dari http://media.isnet.org/antar/etc/Yahudi.html dan juga dari buku “Palestina dalam Pandangan Imam Khomenei”.

Asal-usul Yahudi
Untuk mengetahu asal usul Yahudi tidak bisa terlepas dari keharusan untuk mengetahui tokoh Ibrahim yang dalam hal ini dipandang sebagai nenek moyang tiga agama monotheistik dan semitik, Yahudi (Yudaisme), Kristen dan Islam.

Sebagaimana telah diketahui bahwa Ibrahim tampil dalam pentas sejarah sekitar 3.700 tahun yang lalu. Ia berasal dari Babylonia, anak seorang pemahat patung istana yang bernama Azar “atau Terach dalam Kitab Madrash yang ditulis para rabii pemula”.

Sejak usia bocah Ibrahim sudah menampilkan cara berfikir tajam dan kritis. Suatu saat ia melihat hal yang tidak sesuai dengan akal sehatnya, ayahnya memahat batu dan setelah selesai menjadi patung sang ayah lalu menyembahnya.

Ibrahim memberontak yang berakibat ia harus dihukum bakar, tapi berhasil diselamatkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia kemudian lari atau hijrah ke arah Barat, tepatnya ke daerah Kanaan, yaitu Palestina selatan. Karena daerah ini mengalami wabah paceklik, ia pergi ke Mesir bersama istrinya, Sarah dan menetap di sana sementara waktu.

Keberadaan Ibrahim sangat mengesankan Firoun, raja Mesir, ia menerima hadiah seorang wanita budak yang cantik yang bernama Hajar. Lalu ia pulang kembali ke Kanaan; sebab usianya bertambah lanjut, ia sangat mendambakan seorang keturunan.

Ia-pun berdoa memohon kepada Tuhan agar diberi keturunan untuk meneruskan misi kemanusiaan. Istrinya, Sarah berbaik hati dan mengijinkan Ibrahim mengawini budak perempuan mereka asal Mesir, Hajar.

Dari Hajar ia dikaruniai seorang putra yang bernama Ismael (Ismail), yang dalam bahasa Ibrani berarti Tuhan telah mendengar, yakni telah mendengar doa Ibrahim yang memohon keturunan.

Ibrahim sangat mencintai Ismail dan ibunya, Hajar, sehingga menimbulkan perasaan tidak senang pada istri pertamanya, Sarah. Maka Sarah meminta Ibrahim untuk membawa Ismail dan ibunya keluar dari rumah tangga mereka

. Ibrahim diberi petunjuk Tuhan dengan bimbingan malaikat-Nya agar membawa anak dan istrinya ke arah selatan dari Kanaan, sampai ke suatu lembah yang tandus dan gersang, tiada tumbuhan, yaitu Makkah.

Setelah tiba di lembah tandus itu sesuai dengan petunjuk Tuhan lagi, Ibrahim kembali ke Kanaan, tapi sekali waktu ia menyempatkan diri menjenguk Ismail di Makkah sampai anaknya itu mencapai usia dewasa. Sementara Ibrahim bersama Sarah tinggal di Kanaan, dan terkadang pergi ke Makkah untuk melaksanakan perintah Tuhan (Haji).

Dengan ijin dan kekuasaan Tuhan mereka dikaruniai seorang putra, Ishaq, yang juga menjadi Nabi dan Rasul Allah untuk mengemban tugas mengajari umat tentang faham tauhid, dan mempertahankan ajaran itu sampai akhir jaman.

Malahan sebagai rahmat Allah kepada Ibrahim, dari keturunan Ishaq banyak lahir para Nabi dan Rasul Allah. Ishaq dianugerahi Tuhan seorang anak bernama Yaqub yang digelari Israel, yang dalam bahasa Ibrani berarti “Hamba Allah” jadi identik dengan arti Abd Allah dalam Bahasa Arab, konon karena ia rajin beribadah menghambakan diri kepada Allah.

Anak turun Nabi Yaqub atau Israel ini berkembang biak, dan menjadi nenek moyang bangsa Yahudi, yang juga disebut Bani Israel (anak turun Israel).

Anak-anak Yaqub berjumlah dua belas orang, sepuluh orang dari istri pertama, dua orang lagi dari istri kedua, yaitu Yusuf dan Benyamin. Sepuluh anak Yaqub itu ialah Rubin, Simon, Lewi, Yahuda, Zebulon, Isakhar Dan, Gad, Asyar dan Naftali.

Karena berbagai kelebihan Yusuf, Yaqub sangat menyintai anaknya itu melebihi cintanya kepada anak-anaknya yang lain, dan hal ini mengundang rasa tidak enak pasa saudara-saudara tuanya dari istri pertama.

Lalu mereka bersekongkol untuk menyingkirkan Yusuf, tapi berkat lindungan Tuhan Yusuf bisa selamat. Yusuflah yang secara tidak langsung membawa Yaqub beserta seluruh keluarganya pindah ke Mesir, yang menjadi pusat peradaban dunia waktu itu.

Di Mesir inilah sebenarnya keturunan Yaqub atau Israel itu berkembang biak melalui anak-anaknya yang dua belas. Maka dari sinilah sebetulnya asal mula Bani Israel atau Bangsa Yahudi itu terbagi menjadi dua belas suku.

Tapi Firoun yang dzalim itu merasa tidak senang terhadap keturunan Yaqub. Apalagi sebagian dari keturunan Yaqub itu menganut agama Taurat atau Monotheisme yang berlawanan dengan agama Mesir yang Mushrik atau Politheistik.

Nabi Dawud sebagai raja kerajaan Judea Samaria digantikan oleh anaknya, Nabi Sulaiman. Di bawah pimpinan Sulaiman bangsa Yahudi, anak turun Israel atau Nabi Yaqub ini mengalami jaman keemasan. Yerussalem dibangun dan pada dataran di atas bukit Zion yang menjadi pusat kota itu, didirikan pula tempat ibadah yang megah.

Orang Arab menyebutnya Haikal Sulaiman (Kuil Sulaiman, Solomon Temple), yang juga disebut al-Masjid al-Aqsa, “Masjid yang jauh dari Makkah”. Sebagaimana kota Yerussalem, tempat masjid itu di kenal orang Arab sebagai al-Quds atau Bait al-Maqdis, Bait al-Muqoddas, yang semuanya berarti kota atau tempat suci.

Sayang, anak turun Nabi Yaqub itu terkenal sombong dan suka memberontak. Ini membangkitkan murka Tuhan yang pada gilirannya mereka harus menerima azab-Nya.

Al-Quran sendiri menggambarkan betapa Bani Israel itu membuat kerusakan di bumi, berlaku angkuh, chauvinis, merasa paling unggul dan paling benar sendiri.

Peristiwa ini terjadi sekitar tujuh abad sebelum masehi, ketika bangsa Babilonia dipimpin Nebukadnezar datang menyerbu Yerussalen dan menghancurkan kota itu termasuk masjid Aqsa-nya.

Berkat pertolongan dan kebesaran Tuhan, bangsa Bani Israel bisa kembali lagi ke tanah Yerussalem. Tapi sekali lagi mereka bersikat congkak dan membuat kerusakan di muka bumi, maka Allah-pun menurunkan siksa-Nya untuk kedua kali pada tahun tujuh puluh masehi, karena dosa mereka menolak kerasulan Nabi Isa al-Masih dan menyiksa para pengikutnya.

Ini bisa dibuktikan ketika kaisar Titus dari Roma meratakan Yerussalem dengan tanah, dan menghancurkan lagi masjid Aqsa yang mereka bangun. Dari bangunan itu tidak ada yang tersisa kecuali Tembok Ratap (tempat orang-orang Yahudi meratapi nasib mereka).

Akibat dosa itu orang Yahudi mengalami diaspora, mengembara di bumi terlunta-lunta sebab tidak bertanah air, dan hidup miskin di Geto-geto. Bangunan yang hancur itu dibangun kembali oleh umat Islam dan diwarisinya sampai sekarang.

Yerussalem jatuh ke tangan Arab Muslim pada jaman Umar bin Khattab. Ketika datang ke sana untuk menerima penyerahan kota itu, ia merasa kecewa sekali melihat tempat masjid Aqsa telah dijadikan pembuangan sampah oleh umat Nasrani yang ingin melecehkan agama Yahudi.

Umar beserta tentara Islam membersihkan tempat itu, menjadikan tempat salat dan mendirikan masjid sederhana. Masjid Umar itu diperbaharui menjadi bangunan megah oleh khalifah Abd al-Malik bin Marwan dari Bani Umayyah.

Kisah perjalanan Nabi Ibrahim dan anak cucunya ini dikedepankan dengan maksud untuk menyadarkan kita semua betapa tokoh yang disebut sebagai imam umat manusia ini mempunyai kaitan erat dengan agama Islam.

Dari Isa itu tampak bahwa antara Makkah dan Yerussalem ada hubungan yang sangat erat terutama hubungan antara agama Yahudi, Kristen dan Islam.

Menurut Nabi Muhammad, ada tiga kota suci yang dianjurkan kepada kaum Muslimin untuk mengunjunginya yaitu Makkah dengan masjid Haramnya, Madinah dengan masjid Nabawinya dan Yerussalem dengan masjid Aqsanya.

Karena itu ketika Nabi melakukan shalat yang harus menghadap Yerussalem sewaktu masih di Makkah, ia memilih tempat di sebelah selatan Kabah agar bisa menghadap ke Kabah sekaligus ke Sakhrah di Yerussalem.

Tetapi ketika pindah ke Madinah, ia tidak bisa melakukan hal itu sebab Madinah terletak di sebelah utara Makkah. Maka Nabipun mohon perkenan Tuhan untuk pindah kiblat dari Yerussalem ke Makkah.

Perpindahan ini mengisyaratkan makna yang amat dalam bahwa Nabi mengajarkan dan mengajak manusia kembali ke agama Nabi Ibrahim yang asli, yang disimbulkan oleh Kabah sebagai peninggalannya yang terpenting.

Agama Nabi Ibrahim yang asli itu biasa disebut Agama Hanafiyah, dan Ibrahim adalah seorang yang hanif, yang artinya bersemangat kebenaran, dan Muslim yang berarti bersemangat pasrah dan taat kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa.

Maka ketika Rasul Allah terlibat polemik dengan para penganut Agama Yahudi yang muncul melalui kerasulan Musa sekitar lima abad sesudah Nabi Ibrahim, dan penganut Agama Nasrani yang muncul sekitar tiga belas abad setelah Nabi yang sama, wahyu Tuhan kepada Muhammad menegaskan bahwa Ibrahim bukanlah seorang Yahudi atau seorang Nasrani, melainkan seorang yang hanif dan muslim.

Nabi dan para pengikutnya diperintahkan untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif itu. Berkaitan dengan kesinambungan agam Ibrahim yang hanif itu, Tuhan sudah wanti-wanti kepada Nabi untuk menjaga keutuhan agama itu, tidak terpecah belah didalamnya, yaitu agama yang telah diwahyukan kepada Nabi Ibrahim, Musa dan Isa.

Zionisme
(dikutip dari buku “Palestina dalam Pandangan Imam Khomenei”, hal xxvii-kata pengantar)

Roger Garaudy, dalam bukunya, The Case of Israel, A Study of Political Zionism- sebagaiman dikutip Satrio Arismunandar dalam karianya, Di Bawah Langit Yerusalem (1995) – mengatakan, kita harus cermat dalam membedakan antara zionisme sebagai gerakan keagamaan dengan zionisme sebagai gerakan politik.

Sebagai gerakan keagamaan sebenarnya ia tidak menimbulkan penolakan, perlawanan, atau penentangan dari orang Kristen atau Islam Palestina, yang memang juga menganut agama Nabi Ibrahim. Zionisme sebagai gerakan keagamaan hanya mempengaruhi kelompok kecil saja.

Pada abad ke-19, para pengikut ‘Pecinta Zion’ (Choveve Zion) berusaha mewujudkan tujuan mereka, menciptakan di negeri Zion (nama bukit di Yerusalem) sebuah pusat kegiatan spiritual, dari mana kemudian agama dan budaya Yahudi dapat menyebar ke seluruh dunia.

Zionisme spiritual ini sama sekali tidak mengenai suatu program politik apapun untuk menciptakan negara Yahudi, apalagi merebut tanah Palestina dan mengusir rakyat Palestina dari tanahnya.

Masalah mulai timbul ketika Theodor Herzl (1860 – 1904) menyusun doktrin zionisme sebagai gerakan politik pada tahun 1882 di Wina. Pada 1896, ia memberi bentuk sistematis pada doktrin itu dalam bukunya, Der Judenstaat(Negara Yahudi), dan secara konkret menerapkannya pada Kongres Zionis Sedunia pertama di Basel pada tahun 1897.

Zionisme politik inilah yang menjadi sumber masalah sekarang. Karena, berbeda dengan zionisme sebagai gerakan keagamaan, Herzl dalam pandangan-pandangannya bersifat mengingkari agama secara radikal. Bahkan ia menentang dengan keras semua orang yang merumuskan Yudaisme sebagai sebuah agama.

Dari sudut pandang zionisme politik, di atas segala-segalanya “Orang yahudi merupakan sebuah bangsa.” Dan jika kita perhatikan UUD Israel sekarang, terlihat sikap mendua dalam merumuskan siapa yang pantas disebut ‘orang Yahudi’, karena ada perumusan berdasarkan asal-usl etnis dan berdasarkan agama.

Herzl membuat kesimpulan sebagai berikut. Pertama, orang Yahudi di mana pun mereka berada, di negara manapun mereka bertempat tinggal, akan tetap merupakan sebuah bangsa yang tunggal.

Konsekuensi kesimpulan Herzl ini sekarang adalah warga Yahudi yang sudah menjadi warga AS atau Inggris, misalnya, dituntut untuk “setia pada Israel”, sehingga menimbulkan problema loyalitas ganda.

Kedua, Herzl berpendapat, orang Yahudi selamanya dan di mana saja selalu menjadi korban pengejaran. Dan kegita, mereka sama sekali tidak dapat diasimilasikan oleh negara-negara di mana mereka telah bertempat tinggal sekian lamanya. Asumsi Herzl terakhir ini sebenarnya sama dengan asumsi kaum anti-Yahudi dan rasis.

Pemecahan yang dianjurkan oleh Herzl adalah pembentukan sebuah negara Yahudi, di mana semua orang Yahudi dari seluruh dunia dapat dikumpulkan. Jadi bukan lagi sekadar rumah spiritual seperti ide awal zionisme spiritual.

Menurut Garaudy, di sini terlihat ungkapan nasionalisme Barat yang khas. Akhir periode abad 19 di Eropa merupakan abad nasionalisme. Nasionalisme ini memperlihatkan wajah yang paling kuat di Jerman, dan hal itu berpengaruh kuat pada Herzl, yang mendapat pendidikannya di Jerman.

Menurut Herzl, negara Yahudi yang diinginkannya itu harus didirikan di atas sebuah wilayah yang kosong. Ini juga cara pemikiran kolonialisme yang khas yang berpengaruh pada masa itu.

Artinya, pelaksanaan pemikiran ini sama sekali tidak mempertimbangkan nasib atau pendapat penduduk asli wilayah yang akan dijadikan negara Yahudi itu. Penduduk asli itu -seperti kasus bangsa Indian yang tersingkir di AS dan rakyat Palestina yang sekarang bernama Negara Yahudi Israel- dianggap tidak ada.

Pada mulanya, ada beberapa wilayah yang diusulkan untuk tempat negara Yahudi itu, seperti Argenti atau Uganda. Herzl ternyata lebih suka memilih Palestina, karena ingin meneksploitasi kecendurangan spiritual yang kuat dari para anggota dan pengikut Pencinta Zion.

Dengan taktik demikian, Herzl mendapat “legitimasi” keagamaan untuk memperkuat zionisme dengan politik kolonialis yang dicanangkannya. Padahal Herzl sendiri adalah seorang sekuler dan tidak mempercayai tradisi keagamaan itu.

Martin Buber, salah satu pemikir terbesar abad kita yang juga orang Yahudi, telah mengecam keras pemutarbalikan dan penyimpangan zionisme, dari gerakan keagamaan menjadi gerakan politik dan nasionalisme Yahudi yang sempit dan rasis.

Buber mengatakan, pemutarbalikan itu bukan berasal dari Yudaisme, tapi dari nasionalisme Eropa. Buber, dalam bukunya, Israel and The World, mengakui, “Kami sama sekali tidak punya keinginan untuk merampas apa yang telah menjadi hak milik mereka selama ini. Yang kami inginkan adalah hidup berdampingan bersama-sama dengan mereka.”

Resolusi PBB yang menyamakan zionisme dengan rasialisme, sebenarnya juga bukan tidak beralasan. Sejak awal Herzl sendiri sadar, ia membutuhkan antisemitisme (yang kemudian menjadi program Nazi Jerman di bawah Hitler) sebagai dalih pembenaran zionisme politik.

Herzl menentang asimilasi Yahudi dengan non Yahudi, karena kenyataan ini akan mengganggu dasar-dasar argumennya. Kaum kolonial Barat membantu zionis mendirikan negara Yahudi di tanah Palestina, yang merupakan jantung dunia Arab, demi mempertahankan kepentingan Barat sendiri.

Dengan lahirnya negara Yahudi Israel, bangsa Arab akan ricuh dan sibuk terus-menerus, sehingga Barat bisa terus mengeksploitasi dunia Arab untuk kepentingannya.

Para pemimpin zionis Israel tidaklah bodoh. Mereka tahu sejak awal bahwa mereka diperalat. Dan mereka juga sadar, suatu saat jika konstelasi dunia berubah, Barat mungkin akan menarik dukungan terhadap Israel.

Maka sebelum perubahan itu terjadi, Israel bersiap-siap membangun sendiri industri militernya agar bisa mandiri dan tidak tergantung pada dukungan militer Barat. Tidak jadi soal jika anggaran militer Israel bisa mencapai separo dari anggaran belanja negaranya.

Proyek-proyek mahal, seperti pembuatan senjata nuklir, pesawat tempur Levy, dan rudal dari darat ke darat, terus dilakukan Israel. Maka prospek perdamaian dan pengendalian persenjataan di Timur Tengah, meskipun diupayakan sekuat tenaga saat ini, tampaknya untuk jangka pendek ini masih suram.

Pola pemikiran zionisme politik, yang melekat erat di benak para pemimpin Israel, adalah sisa era kolonial yang sulit dihapuskan begita saja. Dan beban ini kini harus ditanggung rakyat Palestina di daerah pendudukannya.

Pandangan Imam Khomenei Terhadap Zionis dan Yahudi
Setiap bentuk hubungan dengan Israel harus diputuskan. Namun demikian, kaum Yahudi bebas untuk tinggal di Iran dan tinggal di lingkungan yang lebih bebas dari saat Syah berkuasa, karena Islam menghormati semua agama. Kaum zionis sungguh berbeda dengan kaum Yahudi.

Jika kaum muslim menang atas kaum zionis, maka mereka akan memperoleh nasib yang sama dengan Syah. Namun demikian, kaum Muslim tidak akan bertindak apa-apa terhadap pengikut Yahudi, karena mereka adalah kaum sebagaimana kaum-kaum lainnya. Mereka akan bisa menjalankan kehidupan mereka dan tidak akan tercabut haknya.

Kaum minoritas beragama yang hidup di antara kaum Muslim semenjak awal Islam, setelah kemenangan Islam – bukan mereka yang berpaham politeisme (menyembah banyak Tuhan) yang merupakan konspirator atau mereka yang berencana dan ingin menciptakan kerusuhan, melainkan kaum minoritas yang religius- diperlakukan dengan penghargaan yang tinggi oleh Islam. Berdasarkan catatan sejarah, diceritakan bahwa pasukan Muawiyah menjarah gelang kaki dari kaki wanita Yahudi.

Ketika mendengarnya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku mendengan bahwa mereka datang dan menjarah gelang kaki dari kaki seorang wanita dzimmi (orang-orang Yahudi dan Nasrani yang ramah dan bersahabat yang tinggal di wilayah Muslim). Jika seorang Muslim meninggal dalam keadaan kecewa seperti saya sekarang ini, maka ia tak akan tercela.”

Ini menunjukkan betapa kepedulian beliau, bahwa keselamatan semua lapisan penduduk harus dilindungi. Kami menganggap komunitas Yahudi sama sekali berbeda dengan permasalahan zionisme dan zionis, kaum zionis bukanlah termasuk mereka yang beragama.

Ajaran dari Nabi Musa as. adalah ajaran Allah dan Musa as. disebutkan dalam Al Quran lebih banyak dari nabi-nabi lainnya. Kehidupan Musa as. telah diceritakan dalam Al-Qur’an dan itu memberikan pelajaran yang berharga serta menunjukkan kepada kita bagaimana beliau as. melakukan aksi atas Fir’aun. Beliau as. adalah penuntun, yang memiliki kekuatan dan ketetapan hati, yang bangkit melawan kekuatan besar Fir’aun dan menghancurkannya.

Keyakinan atas kekuatan Allah dan perhatian beliau as. kepada kaum lemah dan tertindas, yang digunakan sebagai alat untuk menentang kaum arogan dan berdaya – yang diawali oleh Fir’aun- dan bangkit melawan mereka, adalah jalan Musa as, yang mana semua ini jelas sekali bertentangan dengan rencana kaum zionis.

Mereka ini justru telah bergabung dengan kelompok arogan dan berdaya, serta bertindak sebagai mata-mata mereka dan pembantu mereka, mereka melawan kaum yang lemah dan tertindas serta menentang ajaran Musa as., yang mana beliau sendiri juga sebagai rakyat biasa.

Saat ini, mungkin sedikit kaum Yahudi tersesat -yang telah datang ke sana (Palestina) bersama-sama dari berbagai tempat di bumi- yang sekarang menyesali apa yang telah mereka lakukan.

Mungkin kaum Yahudi tersebut, yang tidak menginginkan apapun kecuali ajaran Musa as., sekarang merasa menyesal telah pergi ke sana, karena mereka melihat sendiri rencana kelompok zionis ini – yang menyebut dirinya kaum Yahudi- bertindak melawan ajaran mulia Musa as., membunuh orang tanpa alasan, bersekutu dengan Amerika dan lainnya.

Mereka tak akan bisa tahan dengan hal ini. Kami tahu bahwa komunitas Yahudi sungguh berbeda dengan komunitas Zionis. Kami melawan kaum zionis. Perlawanan kami muncul dari kenyataan bahwa mereka melawan semua agama. Mereka bukanlah kaum Yahudi. Mereka adalah kelompok gerakan politik -yang menyebut diri mereka Yahudi- yang melakukan aksi-aksi tertentu. Kaum Yahudi memandang hina mereka, dan semestinya hal ini dilakukan oleh semua orang.

***

Kira-kira begitulah cerita singkat yang bisa aq ceritakan. (hhe..singkat ??? ). Sebelum tidur, aq berkesimpulan bahwa aq tidak boleh menggeneralisasi semua kaum Yahudi adalah musuh.

Selama ini mungkin aq keliru karena telah membenci semua org Yahudi beserta ajarannya. Musuh utama adalah kaum zionis. Tidak semua kaum Yahudi adalah kaum Zionis. Agama Yahudi juga agama Allah.

Kekejian dan kezaliman dari dulu hingga skrg yang terjadi bukanlah ajaran agama Yahudi, melainkan permainan politik yang dicanangkan kaum zionis. Bagi bangsa Yahudi yang menentang zionis, mereka tetap harus kita hormati dan junjung tinggi.

Bagi bangsa lain yang bukan bangsa Yahudi, namun memiliki niatan yang sama dengan zionis, mereka juga adalah zionis, yang kita anggap sebagai musuh dan harus kita putuskan hubungan dengan mereka serta perangi mereka apabila mereka mengusik hak asasi kita, termasuk pemerintahan kita sendiri. Intinya, tegakkanlah keadilan dan perangilah kezaliman di muka bumi!

Sumber: ghifar.wordpress.com

Iklan Atas Artikel

SPONSOR

Iklan Tengah Artikel 1

Sponsor

Iklan Tengah Artikel 2

SPONSOR