Pak Ilyas Tak Kuasa Menahan Tangis, Memohon Pemerintah Membantu Memulangkan Putrinya yang ‘Hilang’ di Arab



Carmi, buruh migran asal Desa Bandengan, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat sudah 31 tahun tidak juga kunjung pulang ke tanah air.

Bahkan, komunikasi dengan kedua orangtuanya sudah lama terputus.

Itu yang membuat kedua orang tuanya, Ilyas (85) dan Warniah (75), tak pernah merasa tenang.

Keduanya terus gelisah dan bersedih memikirkan kondisi putrinya. Keduanya sudah lama merasa kehilangan.

Sejak keberangkatan Carmi di tahun 1988 hingga 2019, atau selama 31 tahun, keduanya tak dapat melihat satu pun wajah Carmi, baik di dalam selembar foto melalui surat, apalagi wajah dalam panggilan video.

Mereka tidak mengetahui bagaimana perkembangan kondisi fisik Carmi.

Ilyas menunjukan sisa berkas kepada Kompas.com. Sambil menunjukan secarik ijazah kelulusan SD Carmi.

Ilyas bercerita, dia masih ingat, putri pertama dari sepuluh bersaudara itu berangkat menjadi buruh migran ke Arab Saudi satu tahun setelah Carmi lulus SD di tahun 1987.

Saat itu, Carmi masih berusia 17 tahun. Namun usia Carmi dituakan dari kelahiran 1971 menjadi 1958 atau 13 tahun lebih tua.

“Untuk persyaratan administrasi sih, jadi dituakan. Karena kalau 17 tahun tidak boleh berangkat,” kata Ilyas kepada Kompas.com, Minggu (28/7/2019).

Carmi berangkat melalui PT Umah Sejati Alwidah Jaya Sentosa di Jakarta. Ilyas memastikan, dirinya bersama ibunya sudah berulang kali melarang.

Tetapi, Carmi bersikeras berangkat dengan alasan membantu ekonomi keluarga.

Dia juga termotivasi dengan beberapa tetangga yang pergi menjadi TKW hingga berhasil membangun rumah.

Sekitar tiga tahun setelah keberangkatan, keluarga di rumah menerima surat dari Carmi.

Dia mengabarkan terus sibuk kerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi. Carmi juga berjanji akan mengirimkan uang.

Namun sejak saat itu hingga Minggu (28/7/2019), Ilyas dan keluarga tak menerima satu rupiah pun kiriman Carmi.

Sofiyudin, paman Carmi menyampaikan, setelah surat itu, Carmi justru semakin tidak ada kabar.

Dia mengirimkan hanya beberapa surat hingga keluarga merasa kehilangan dan berupaya mendatangi perusahaan dan KBRI di Jakarta.

“Kurun waktu tiga tahun masih bisa komunikasi pakai surat.

“Dulu kan belum ada HP. Setelah itu enggak ada kabar.”

“Terus pas tahun ke-7 dilacak melalui KBRI, setelah itu tidak ada kabar. Enggak ada apa-apa,” kata Sofiyudin.

Sejak saat itu hingga saat ini, keluarga sudah putus komunikasi dengan Carmi selama 24 tahun.

Keluarga sudah berulang kali mendatangi Sarkum, tetangga yang memberangkatkan Carmi.

Hingga Sarkum tutup usia, keluarga belum juga mendapat jawaban.

Begitu pun dengan perusahaan yang memberangkatkan, hingga akhirnya tutup dan bangkrut, keluarga selalu pulang dengan tangan kosong ke rumah.

Sofiyudin juga sudah melapor pada petugas BNP2TKI dan juga KBRI, namun belum mendapatkan jawaban yang pasti tentang kondisi Carmi.

Mereka tidak tahu harus berbuat apa dan ke mana lagi untuk dapat memulangkan Carmi.

Pasalnya, kata Sofiyudin, seluruh keluarga sudah berusaha maksimal mengeluarkan hingga puluhan juta rupiah untuk membayar sejumlah pihak yang berjanji dapat memulangkan anaknya.

“Tulung pemerintah, Carmi suruh pulang.”

“Bapaknya ingin bertemu. Ibunya, sedulur-sedulurnya (saudara-saudaranya) ingin bertemu.”

“Tulung Bapak pemerintah, minta dibantu. Sudah lama nggak datang-datang, nggak ada kabar,” kata Ilyas sambil menangisi Carmi.

Sumber: suar.grid.id

Iklan Atas Artikel

SPONSOR

Iklan Tengah Artikel 1

Sponsor

Iklan Tengah Artikel 2

SPONSOR